Biografi Imam Syafi'i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu
Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150
Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga
jauh Rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek
ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib
r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju
palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah,
kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat
prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke
mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan
keluarganya secara lebih intensif.
Saat berusia 9 tahun, beliau
telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16
kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun
kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis
pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan
sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau
kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti
kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya
inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk
di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas
menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak
yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i
begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai
hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan
hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut,
pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru
Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam
Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai
sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan
oleh Rasulullah SAW pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh
Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al
Quran dan Hadits), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga
menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
Berkaitan dengan bid’ah, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah
terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan
prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau
selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu
saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya
bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk
bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana
ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain
yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.
Diantara karya karya Imam Syafi’i
yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga
buku Al Musnad berisi tentang hadis hadits Rasulullah yang dihimpun dalam kitab
Umm serta ikhtilaf Al hadits.
Sumber: http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-syafii.html
Biografi Syekh Kholil Bangkalan
Kiai Kholil lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H di Bangkalan Madura. Ayahnya bernama Abdul Latif bin Kiai Harun bin Kiai Muharram bin Kiai Asrol Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman ialah cucu Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu beliau sangat mengharap dan mohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin umat serta mendambakan anaknya mengikuti jejak Sunan Gunung Jati.
Setelah tahun 1850 Kiai Kholil
muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban, kemudian
untuk menambah ilmu dan pengalaman beliau nyantri di Pesantren Cangaan Bangil,
Pasuruan. Dari sini pindah lagi ke Pesantren Keboncandi Pasuruan. Selama di
Keboncandi beliau juga berguru kepada Kiai Nur Hasan di Sidogiri, Pasuruan.
Selama di Keboncandi, beliau mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya sendiri
dengan menjadi buruh batik, agar tidak merepotkan orang tuanya, meskipun
ayahnya cukup mampu membiayainya.
Kemandirian Kiai Kholil nampak
ketika beliau berkeinginan belajar ke Makkah, beliau tidak menyatakan niatnya
kepada orang tuanya apalagi minta biaya, tetapi beliau memutuskan belajar di
sebuah pesantren di Banyuwangi. Selama nyantri di Banyuwangi ini belaiau juga
menjadi buruh pemetik kelapa pada gurunya, dengan diberi upah 2,5 sen setiap
pohon, upah ini selalu ditabung.
Tahun 1859 ketika berusia 24
tahun Kiai Kholil memutuskan untuk berangkat ke Makkah dengan biaya
tabungannya, tetapi sebelum berangkat oleh orang tuanya Kiai Kholil dinikahkan
dengan Nyai Asyik. Di Makkah beliau belajar pada syekh dari berbagai madzhab di
Masjidil Haram, tetapi beliau lebih banyak mengaji kepada syekh yang bermadzhab
Syafi'i.
Sepulang dari Tanah Suci, Kiai
Kholil dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot yang hebat, bahkan ia dapat
memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafidz (hafal Al-Quran
30 juz). Kiai Kholil kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan.
Setelah puterinya yang bernama
Siti Khotimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri Kiai Muntaha, pesantren di
Desa Cengkebuan itu diserahkan kepada menantunya. Sedangkan Kiai Kholil sendiri
mendirikan pesantren di Desa Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 m
sebelah barat alun-alun Kota Bangkalan. Di pesantren yang baru ini beliau cepat
memperoleh santri. Santri yang pertama dari Jawa tercatat nama Hasyim Asy’ari
dari Jombang.
Pada tahun 1924 di Surabaya ada
sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar yang didirikan oleh
seorang kiai muda Abduk Wahab Hasbullah. Dalam perkembangannya, ketika Kiai
Wahab Hasbullah beserta Kiai Hasyim Asy’ari bermaksud mendirikan jam’iyah, Kiai
Kholil memberikan restu dengan cara memberikan tongkat dan tasbih melalui Kiai
As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Pada tanggal 29 Romadlon 1343 H
dalam usia 91 tahun, karena usia lanjut belaiu wafat. Hampir semua pesantren di
Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren Kiai Kholil.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur
Biografi KH M. Hasyim Asy'ari
Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari
lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal
14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang,
Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah.
Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.
Dilihat dari garis keturunan itu,
beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia.
KHM. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI
(Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai
berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar
bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin Joko Tingkir alias Mas
Karebet bin Prabu Brawijaya VI.
Semenjak masih anak-anak,
Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar
agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia
lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid,
Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada
umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang
usianya jauh lebih tua dari dirinya.
Kemauan yang keras untuk
mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari
ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain,
bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada
ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad
Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi. Muhammad
Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal
sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926,
KHM. Hasyim Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang
lain mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar
di Indonesia.
KHM. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh
kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru”
kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas
mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang
sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan
Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam
Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan
pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini
disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932
dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul
Ulama”.
Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KHM. Hasyim
Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan
segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak
kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang
“dibikin” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil
menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai.
Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.
Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan
dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir
seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila kemudian
juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih mempertahankan
madzhab, yang akhirnya berada dalam satu barisan “Nahdlatul Ulama”, semua itu
dapat dipahami sebagai hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad
Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang cukup panjang.
Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan
juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat
nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah,
tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan
mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau
terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam
diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai
di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang
nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan
bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.
Karena sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak
henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937
misalnya, pernah datang kepada beliau seorang amtenar utusan Hindia Belanda
bermaksud memberikan tanda jasa berupa “bintang” terbuat dari perak dan emas.
Tetapi Kiai Hasyim menolak, dan kemudian beliau bergegas mengumpulkan para
santrinya dan berkata :
“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli
riwayat; pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu
Thalib, dan diberitahu bahwasannya pemerintah jahiliyah di Makkah telah
mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang
tinggi, harta benda yang berlimpah dan gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda
Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan pamannya, Abu
Thalib: ‘Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan
kananku, dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang,
aku tidak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata di
mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku,
hendaknya dapat mencontoh Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala
persoalan….”.
Sikap seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang
disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika”
dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo, yang harus
dilakukan oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris setiap pagi sekitar jam
07.00 WIB tanpa kecuali baik itu anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja
dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. KHM. Asy’ari menentangnya.
Melakukan ‘saikerei’ menurut pandangan para ulama adalah ‘haram’ dan dosa
besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, yang
hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun terhadap
Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit, haramlah
diberi hormat dalam bentuk ‘sakerei’ yang menyerupai ruku itu.
Akibat penolakkanya itu, pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke
Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara
Bubutan, Surabaya.
Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga
jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat
pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena
serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa
kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda
setia kawan dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah
berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai
gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang
agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan
tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.
Pada bulan Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk
organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan
diberi nama MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik,
pimpinan tertingginya dipercayakan kepada KHM. Hasyim Asy’ari. Dan pada tahun
1944 beliau diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat
Urusan Agama).
Pada masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil
membujuk Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri dengan
latihan kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda anggota
Hizbullah ditandatangani oleh KHM. Hasyim Asy’ari.
Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM.
Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia
menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah
seorang ulama yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan bangsa Indonesia.
Beliau dilahirkan di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret
1888. silsilah KH. Abdul Wahab Hasbullah bertemu dengan silsilah KHM. Hasyim
Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Shihah.
Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab
dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik
ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan
sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian K.H. Hasbullah
membimbingnya untuk menghafalkan Juz Ammah dan membaca Al Quran dengan tartil
dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang
paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab
Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al
Majmu'. Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan
Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba
ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas
memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab
dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal ilmunya, barulah
Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren
ke pesantren lainnya. Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan,
Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah.
Beliau tidak puas hanya belajar
di pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul
Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada
Syekh Mahfudh At Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, Abdul
Wahab langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.
Langkah awal yang ditempuh K.H.
Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha
membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja
dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air',
ditambah dgngan gubahan syajr-syair yang penuh dengan pekik perjuangan,
kecintaan terhadap tanah tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah
bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan.
belenggu kolonial Belanda.
Namun demikian, tidak kalah
pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab,
setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri
Kiai 'Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang
lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling
tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai
pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis
anti madzhab.
Bertolak dari sifat dan sikap
Kiai Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila kemudian beliau mengadakan
pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh
pondok Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula
'Taswirul Afkar' yang berarti 'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok
diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dan
anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang mempertahankan
sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919,
kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang
bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu
pengetahuan agama tingkat
elementer.
Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul
Afkar' bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya
bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada saat itu
(tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian, bukan berarti
meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan
bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini hingga
sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya tempatnya telah berpindah, tidak
lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan Pegirian Surabaya.
Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam
(SI) berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas
Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun
memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan
politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok anti madzhab sedangkan
K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai Wahab, yakni ulama yang
mempertahankan sistem madzhab.
Dalam hubungannya dengan gerakan pembaruan itu, agaknya Kiai Wahab
seringkali tidak dapat menghindari serangan-serangan mereka baik yang ada di SI
maupun di K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan utamanya membangun
nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali dilancarkan hingga
Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan pendapat antara
Kiai Wahab dengan K.H. Mas Mansur.
Peristiwa ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga
tidak perlu mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk
mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi, kepala
sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di
Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far'ul Wathan
di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling, dan
Hidayatul Wathan di Jagalan.
Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya
tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan utamanya
adalah membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul Wathan'
berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya
sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut
tetap dinyanyikan para santri setiap kali akan dimulainya kegiatan belajar di
sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair tersebut, para murid santri diminta
berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia
Raya'.
Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus memperhatikan
Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat
membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama
bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi
sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail
diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi
ulama-ulama muda yang
mempertahankan madzhab.
Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali
dalam seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur
saja, melainkan juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi
dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu
banyak, maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu. Di antara
teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri (Jombang),
KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan
Abdullah keduanya dari Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari
Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai
Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan Abdul Hakim,
Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.
Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh
bagi menolak serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama yang
dikursus, agaknya dipersiapkan betul untuk menjadi juru bicara tangguh dalam
menghadapi kelompok pembaru, sehingga dalam perkembangan berikutnya, ketika
berkobar perdebatan seputar masalah 'khilafiyah' di beberapa daerah, tidak lagi
perlu meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi cukup dihadapi ulama-ulama muda
peserta kursus tersebut.
Pada saat pemimpin-pemimpin Islam
mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd.
Wahab Hasbullah mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya
madzahibul arba' ah di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang
diperhatikan oleh tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas
izin KH.Hasyim Asy' ari membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri
ke Makkah - Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAM’IYAH
NAHDLATUL ULAMA, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan
K.H. Abd. Wahab Hasbullah.
Demikianlah selintas pintas
riwayat K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan semangat nasionalisme
bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di tanah tercinta Indonesia. Di
samping itu beliau seorang tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan
kebenaran madzhab dari serangan kaum yang menyebut dirinya modernis Islam.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Biografi KH. Bisyri Syansuri
KH Bisyri Syansuri dilahirkan di
desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzul Hijjah 1304 bertepatan dengan 18
September 1886 M. Beliau adalah putra ketiga dari pasangan suami istri Kyai
Syansuri dan Nyai Mariah.
Pada usia tujuh tahun KH Bisyri
Syansuri mulai belajar agama secara teratur yang diawali dengan belajar membaca
Al Qur'an secara mujawwad (dengan bacaan tajwid yang benar) pada Kyai Shaleh di
desa Tayu. Pelajaran membaca Al Qur' an ini ditekuninya sampai beliau berusia
sembilan tahun. Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya ke pesantren Kajen.
Guru beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang Huffadz yang juga terkenal
penguasaannya di bidang Fiqih. Dibawah bimbingan ulama ini beliau mempelajari
dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, dan hadits.
Pada usia lima belas tahun KH
Bisyri Syansuri berpindah pesantren lagi, belajar pada Kyai Khalil di Demangan
Bangkalan. Kemudian pada usia 19 tahun beliau meneruskan pelajarannya ke
pesantren Tebuireng Jombang. Dibawah bimbingan KH Hasyim Asy'ari beliau
mempelajari berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan beliau
menyebabkan tumbuhnya hubungan yang sangat erat antara beliau dengan hadratus syaikh
untuk masa-masa selanjutnya.
Setelah enam tahun lamanya
belajar di Tebuireng, pada usia 24 tahun beliau berangkat melanjutkan
pendidikan ke Makkah. Beliau bersahabat dengan KH Abdul Wahab Hasbullah sejak
di pesantren Kademangan sampai di tanah suci Makkah. Ketika Adik KH Abdul Wahab
Hasbullah yang bemama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya pada
tahun 1914, KH Abdul Wahab Hasbullah menjodohkan adiknya dengan KH Bisyri
Syansuri, dan pada tahun itu juga beliau pulang ke tanah air.
Kepulangan ke tanah air itu
membawa beliau kepada pilihan untuk kembali ke Tayu atau menetap di
Tambakberas. Atas permintaan keluarga Nur Khadijah, beliau menetap di
Tambakberas Jombang. Setelah dua tahun menetap dan membantu mengajar di
Pesantren Tambakberas, pada tahun 1917 beliau pindah ke desa Denanyar. Di
tempat ini beliau bertani sambil mengajar, yang kemudian berkembang menjadi
sebuah pesantren. Semula pesantren ini hanya mendidik santri laki-laki, tetapi
pada tahun 1919 beliau mencoba membuka pengajaran khusus bagi para santri
wanita. Percobaan ini temyata mempunyai pengaruh bagi perkembangan pesantren,
khususnya di JawaTimur. Karena
sebelumnya memang tidak pernah ada pendidikan khusus untuk santri putri.
KH Bisyri Syansuri termasuk salah seorang ulama yang ikut mengambil bagian
dalam kelahiran Nahdlatul Ulama dan selama hidupnya selalu mencurahkan tenaga
dan pikirannya untuk kebesaran Nahdlatul Ulama. Beliau juga dikenal sebagai
pejuang yang dengan gigih menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa
perang kemerdekaan beliau ikut terjun di medan tempur melawan tentara Belanda
dan menjabat sebagai ketua Markas Pertahanan Hizbullah-Sabilillah di Jawa
Timur, merangkap sebagai wakil ketua Markas Ulama Jawa timur yang dipimpin oleh
KH Abdul Wahab Hasbullah.
KH Bisyri Syansuri adalah seorang
ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati. Meskipun demikian
beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang prinsip. Dalam
menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah, terutama dalam
memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at Islam. setiap hukum
suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau
Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawar-tawar.
Di dalam kepengurusan NU semula
beliau menjadi salah seorang a'wan syuriyah. Pada Muktamar NU ke-13 tahun 1950
beliau diangkat sebagai salah seorang Rais Syuriyah. Kemudian setelah KH Abdul
Wahab Hasbullah wafat pada tahun 1971 Musyawarah Ulama secara bulat memilih
beliau menjadi Rais Am PBNU sampai beliau wafat pada hari Jum'at 25 April 1980
dalam usia 94 tahun. Makam beliau berada di komplek Pondok Pesantren Manbaul
Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.